Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan seperti “Tetap positif!”, “Jangan terlalu dipikirkan!”, atau “Semua akan baik-baik saja.” Meskipun niatnya baik, ada kalanya dorongan untuk selalu berpikir positif justru berdampak negatif pada kesehatan mental. Inilah yang dikenal sebagai toxic positivity atau kepositifan beracun.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah keyakinan bahwa seseorang harus selalu berpikir positif dan menekan emosi negatif, apa pun situasinya. Sikap ini menuntut seseorang untuk terus optimis dan mengabaikan kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan yang sebenarnya merupakan bagian normal dari kehidupan.
Sikap ini bisa datang dari diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Contoh sederhana adalah ketika seseorang mengalami kegagalan, tetapi justru diberi nasihat untuk tidak merasa sedih dan harus tetap tersenyum. Alih-alih memberi dukungan, hal ini justru membuat orang tersebut merasa bahwa emosinya tidak valid.
Dampak Buruk Toxic Positivity
- Menekan Emosi Sejati
Menuntut diri sendiri atau orang lain untuk selalu positif bisa menyebabkan penekanan emosi. Padahal, emosi negatif seperti sedih, marah, dan kecewa adalah respons alami terhadap berbagai peristiwa dalam hidup. Jika terus ditekan, emosi ini bisa menumpuk dan berujung pada stres atau kecemasan. - Menghambat Proses Penyembuhan
Ketika seseorang mengalami kehilangan atau trauma, mereka butuh waktu untuk memproses rasa sakitnya. Namun, jika lingkungan sekitar terus mendorong kepositifan berlebihan, individu tersebut mungkin merasa tidak berhak untuk berduka atau mengungkapkan emosinya. - Membuat Orang Merasa Bersalah atas Perasaannya
Banyak orang yang akhirnya merasa bersalah karena memiliki emosi negatif. Mereka mungkin berpikir bahwa mereka tidak cukup kuat atau bersyukur. Akibatnya, mereka menyalahkan diri sendiri dan merasa semakin terpuruk.
Cara Menghindari Toxic Positivity
- Terima dan Validasi Emosi
Akui bahwa merasa sedih, marah, atau kecewa adalah hal yang wajar. Tidak perlu merasa bersalah atas emosi tersebut. Memberikan ruang bagi diri sendiri untuk merasakan emosi adalah langkah pertama dalam penyembuhan. - Dukung Orang Lain dengan Empati
Jika ada orang terdekat yang sedang mengalami kesulitan, alih-alih memaksanya untuk berpikir positif, cobalah mendengarkan dengan empati. Ungkapan seperti “Aku mengerti bahwa ini sulit untukmu” atau “Aku ada di sini jika kamu butuh dukungan” bisa jauh lebih membantu. - Hindari Toxic Positivity dalam Diri Sendiri
Jangan paksakan diri untuk selalu bahagia. Beri waktu bagi diri sendiri untuk memproses perasaan dengan jujur. Jika merasa kesulitan, mencari bantuan profesional seperti psikolog bisa menjadi solusi yang baik.
Kesimpulan
Berpikir positif memang penting, tetapi jika dilakukan secara berlebihan hingga mengabaikan emosi negatif, justru bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Sebaiknya, kita belajar untuk menerima seluruh spektrum emosi dan memahami bahwa tidak apa-apa untuk merasa sedih, marah, atau kecewa. Dengan keseimbangan yang tepat, kita bisa menjalani hidup dengan lebih sehat dan autentik.